Pages

Monday, August 20, 2018

Sutradara Wiro Sableng 212 Tolak Investor Berduit Kotor

loading...

TAHUN ini menjadi tahun yang supersibuk untuk Angga Dwimas Sasongko. Mulai dari menyutradarai Wiro Sableng 212, produser film Keluarga Cemara, syuting film berikutnya, tur edukasi ke SMK, hingga perluasan kantor perusahaannya, Visinema Pictures.

Semua dikerjakan dengan berusaha teguh pada idealisme berkarya dan berbisnis. Kesibukan Angga terlihat jelas saat KORAN SINDO melakukan janji wawancara dengannya pada Selasa (14/8) lalu di Kantor Visinema Pictures, Cilandak Timur, Jakarta Selatan. Seharusnya pertemuan dilakukan pukul 16.00 WIB.

Namun, setengah jam sebelum wawancara, tibatiba Angga ditelepon dan harus segera menuju kantornya yang lain, Kedai Filosofi Kopi, di daerah Melawai, Blok M. Ada rapat internal mendadak. Rapat pun baru kelar pukul 17.00. Setelah itu, Angga masih harus kembali ke kantor di Cilandak. Berjibaku dengan macet di Ibu Kota, akhirnya wawancara baru bisa dilaksanakan selepas magrib.

Wawancara dilakukan di bagian kantor yang baru setengah jadi. Saat itu memang bangunan tengah diperluas dengan mengambil lahan di samping bangunan lama. Semuanya demi menampung aktivitas kerja yang akan jauh lebih sibuk pada tahun mendatang. Berikut petikan wawancara kami dengan Angga seputar film Wiro Sableng dan visinya bersama Visinema.

Sebentar lagi film Wiro Sableng dirilis. Kalau melihat trailernya, sepertinya ini film yang full action, tetapi penulis skenarionya (Seno Gumira Ajidarma, Tumpal Tampubolon, Sheila Timothy) adalah mereka yang kuat dalam membuat cerita. Jadi, film ini sebenarnya akan seperti apa?
Film ini akan punya cerita yang kuat dan action yang bagus. Dua tahun kami membuat ini. Kami pakai CGI untuk set extension dan imaginary set buat lokasi yang sulit serta exaggerating action untuk adegan yang pakai jurus-jurus. Film ini dibuat dengan kesadaran secara spesifik untuk menyenangkan para pembacanya, tapi juga seru buat yang nggak baca atau nonton sinetronnya. Pokoknya film ini didesain sebagai film untuk bersenang-senang dan menghibur.

Film Anda hampir selalu ada kritik atau pernyataan sosialnya. Bagaimana dengan Wiro ?
Di Wiro, saya mau have fun aja. Pasti masih akan ada karakter saya, tapi ya lihat aja nanti.

Pilihan ini apa karena film Wiro bukan film produksi Visinema Pictures? Jadi harus kompromi?
Bukan kompromi. Saya kan masuk di sini sebagai kreatif bahwa ada hal-hal yang dibicarakan dengan Mbak Lala (Timothy) sebagai produser. Setiap cerita tentu harus punya konteks sosial, tapi apakah itu akan jadi layer utama, itu yang harus dilihat. Karena ini film komersial, jadi kami ingin film ini bisa diakses lebih banyak orang.

Anda pernah bilang bahwa film-film Anda ibarat kapsul waktu yang menunjukkan pikiran Anda saat itu. Apakah Wiro juga termasuk?
Tentu, dong. Film ini akan merepresentasikan saya dari segi skill, apa yang saya pikirkan, dan itu bukan sekadar isu, tapi juga konsep sinema. Bagaimana meletakkan kamera, editing, musik. How to tell story through audio visual.

Sejak kapan dan mengapa Anda memasukkan pernyataan sosial dalam film-film Anda, karena sepertinya waktu membuat film Hari untuk Amanda belum ada hal tersebut?

Ya, waktu itu memang belum. Tapi sebenarnya Hari untuk Amanda juga bicara tentang nilai pernikahan. Waktu itu tokohnya menilai yang penting itu event-nya, tapi lama-kelamaan dia sadar bahwa yang terpenting itu komitmennya. Sementara kalau film-film yang lain sebenarnya saya menawarkan perspektif.

Cahaya dari Timur saya tawarkan bahwa saat ada konflik, media biasanya hanya memberitakan apa yang hancur dan jumlah korban, tapi film ini menunjukkan bahwa ada orang yang berani keluar rumah dan bekerja untuk perdamaian. Di Filosofi Kopi , saya tawarkan perspektif bahwa dari kopi yang kita minum, jangan-jangan ada ketidakadilan terhadap petani.

Kami hanya mendorong penonton yang peduli untuk mengelaborasi apa yang saya sampaikan. Di Surat untuk Praha, saya sampaikan peristiwa 1965 bukan sebagai sebuah pertikaian ideologi, melainkan persoalan kemanusiaan. Banyak korban yang terpisah, ada keluarga korban yang tidak ada hubungannya dengan komunis, tapi tetap mengalami ketidakadilan.

Sejak kapan kesadaran untuk menyampaikan pendapat lewat film muncul?

Tahun 2010 saya berhenti berkarya. Saya pergi ke Mentawai (yang saat itu luluh lantak akibat gempa 7,7 SR) dan bersama teman-teman di Visinema membuat Save Mentawai. Dua tahun kami bantu rekonstruksi dan rehabilitasi. Kami jadi tim yang paling pertama datang dan paling terakhir pergi.

Let's block ads! (Why?)

from SINDOnews | Lifestyle, Musik, Film, Kesehatan, dan Travel kalo berita kurang lengkap atau terpotong buka link disamping https://ift.tt/2L5U1VP

No comments:

Post a Comment